Raja Wangsa Sanjaya dari Kerajaan Mataram telah melakukan
penaklukan-penaklukan menakjubkan di Bali, Sumatera, Kamboja dan sampai ke
China. Bagaimanakah wangsa Sanjaya di Pulau Jawa pada Abad ke 8 dan bagaimana posisinya
dengan kerajaan Wangsa Sailendra? Mari kita simak tulisan dari George Coedes
Berikut ini. Semoga bermanfaat.
Kecuali
prasasti Tuk Mas yang tanggalnya kurang tegas dan tidak besar arti sejarahnya,
Jawa tidak menghasilkan prasasti sejak prasasti Purnawarman pada pertengahan
abad ke 5 M, tetapi muncul kembali dengan sebuah prasasti sansekerta berangka
tahun 732 M, yang ditemukan di bagian tengah Pulau, diantara reruntuhan candi
di Gunung Wukir sebelah tenggara Borobudur. Yang membuat adalah raja Sanjaya yang
merupakan anak dari saudara perempuan Sanna. Prasasti itu memberitakan
didirikannya sebuah lingga di Pulau Yava, “Kaya akan sereal dan tambang emas”,
di negeri Kunjarakunja.
![]() |
Candi Borobudur |
Sebuah
teks lebih baru menganggap Sanjaya telah melakukan penaklukan-penaklukan
menajubkan di Bali, Sumatera, Kemboja dan sampai di China. Sebuah prasasti
bertanggal 907 M menggambarkan Sanjaya sebagai seorang pangeran Mataram (bagian
Selatan Jawa Tengah), dan sebagai yang pertama dari suatu garis keturunan.
Pangeran yang kedua, yaitu Panangkaran memerintah tahun 778 M, menurut prasasti
Kalasan, di bawah kekuasaan Dinasti Sailendra.
Nama
Sailendra yang artinya “Raja Gunung” dengan gelar mereka yaitu Maharaja,
merupakan suatu peristiwa internasional yang terpenting. Nama raja gunung ini
menimbulkan hipotesis mengenai adanya hubungan dengan gelar raja di Fu-nan.
Hipotesis ini lebih mantap sejak ditemukannya nama Naravarnagara, ibu kota
Fu-nan yang terakhir di bagian selatan semenanjung Indochina, dalam bentuk
Varanara dalam sebuah prasasti abad ke-9 yang menyebutkan bahwa sebagai
pemegang pemerintahan negeri itu adalah seorang raja bernama Bhujayotunggadewa
yang rupanya pendiri dinasti Sailendra di Jawa. Kata Naravara juga muncul dalam
prasasti Kelurak. Dalam prasasti Kelurak tersebut juga disebutkan bahwa monumen
dan prasasti itu dibuat bukanlah oleh Maharaja Panangkaran, tetapi seorang raja
atasan maharaja itu.
![]() |
Candi Kalasan |
Raja
pertama yang memerintah di daerah dataran Kedu (juga merupakan tempat
pemerintahan wangsa Sanjaya) sepertinya adalah Sang Ratu I Halu yaitu kira-kira
tahun 768 M. Tetapi ada sesuatu yang sudah pasti, yaitu bahwa munculnya wangsa
Sailendra ditandai dengan melejitnya Buddhisme Mahayana secara tiba-tiba. Pada
tahun 778 M, Maharaja Panangkaran atas permintaan guru kebatinannya, mendirikan
sebuah tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada Dewi Buddhis Tara dan
mengikatkan desa Kalasa kepadanya. Bangunan ini merupakan Candi Kalasan.
Pada
tahun 782 seorang raja Sailendra yang dinobatkan dengan nama Sangramadhananjaya
yang bergelar “pembunuh pahlawan-pahlawan musuh”, mensucikan sebuah arca dari Bodhisattva
Manjusri di Kelurak, tidak jauh dari Kalasan.
Arca ini sekaligus menyatukan ketiga permata agama Buddha (Triratna),
Trimurti Brahmanis dan semua Dewata. Rupanya karena pengaruh dari Benggala
Barat dan dari Universitas Nalada, maka aksara dari India Utara untuk sementara
dipakai didalam prasasti di Kalasan dan Kelurak dan kemudian di Kamboja
(kekuasaan raja sailendra ini diperkirakan sampai ke Kamboja).
![]() |
Candi Sari |
Candi
lainnya adalah Candi Sari yang merupakan tempat tinggal biarawan yang ada
tempat pemujaannya, yang kira-kira sejaman dengan Candi Kalasan, dan tentunya yang paling populer adalah Candi Borobudur.
Ada
hipotesa yang menyatakan bahwa raja-raja Sailendra ini berasal dari kerajaan
Sriwijaya, karena pada abad ke 11 M (atau boleh jadi abad ke 10 M), raja-raja
Sriwijaya memang benar dari wangsa Sailendra, namun tidak ada bukti satu pun
bahwa keadaannya pada abad ke 8M memang sudah demikian.
Dari
sejarah, kita belajar masa lalu, merencanakan masa depan, pijakkan tindakan
saat ini. Semoga Damai Selalu didalam LindunganNya.
Sumber:
buku karya George Coedes “Asia Tenggara Masa Hindu Budha”
Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel "Perkembangan
Sriwijaya di Sumatera (Akhir abad 7 s.d. abad 9 M)"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar