Kekuasaan Wangsa Sailendra kemudian digantikan oleh Wangsa Sanjaya. Namun demikian Budhisme dan Hinduisme tetap menjalin toleransi timbal balik. Pada abad ini pulalah didirikan candi Prambanan yang merupakan warisan budaya dunia. Bagaimanakah George Coedes menceritakan peristiwa tersebut? Mari kita simak bersama. Semoga bermanfaat.
Arca Siwa Jawa Tengah abad 9 |
Kemerosotan
kekuasaan Wangsa Sailendra di di bagian tengah Jawa (seperti yang diceritakan
pada artikel Sebelumnya), terbukti kebenarannya dari adanya sebuah prasasti
beraliran Siva dari tahun 863 M di dekat Kompleks Prambanan yang barangkali
berhubungan dengan kultus Agastya. Dibangunnya monumen-monumen Hindu di Kompleks
Prambanan pada awal abad ke-10 menguatkan sumber ini. Akan tetapi janganlah
lalu disimpulkan bahwa Buddhisme sama sekali hilang dari daerah itu,
monumen-monumen Buddhism di Borobudur, Plaosan dan Sojiwan membuktikan
kebalikannya, dan banyaklah petunjuk menunjukkan bahwa adanya toleransi yang
timbal balik antara Buddhisme dan Hinduisme, dan dalam hal-hal tertentu,
sinkretismenya sama kuatnya di Jawa seperti di Kamboja.
Para pangeran-pangeran meninggalkan prasasti-prasasti di dataran daerah Kedu di sekitar
prambanan, mereka diantaranya adalah Lokapala (856 – 860 M) , Rakai Wangi (863
– 882 M), Rakai Gurunwangi (887 M), Rakai Limus Dyah Dewendra (890 M), Rakai
Watuhumalang (896 M). Pusat kerajaan mataram (kerajaan Sanjaya) diperkirakan di
Daerah Yogyakarta sekarang.
Jika
kita ingat dengan Dyah Balitung (yang sudah disebutkan pada artikel
sebelumnya), kita akan meninggalkan suatu masa yang pada hakekatnya tidak jelas
untuk memasuki suatu periode yang lebih jelas sejarahnya. Ada beberapa petunjuk
sangkaan bahwa Balitung berasal dari bagian timur pulau dan karena
perkawinannya kemudian memperoleh hak atas bagian tengah pulau Jawa. Dalam
prasasti-prasasti pemerintahannyalah yang muncul antara tahun 899 sampai 910 M
yang menyebutkan nama Mataram pertama kali.
Balitung
diganti oleh Raja Daksa yang tampil dalam prasastinya disebut sebagai seorang
pembesar tertinggi (Rakryan ri Hino, Mahapatih I Hino). Seperti Balitung, Daksa
juga menyatukan Jawa bagian Tengah dengan Jawa bagian Timur dan tinggal di
daerah Yogyakarta. Mungkin dialah yang menyuruh untuk membangun Candi
Lorojongrang di Prambanan.
Tulodong
diketahui masa pemerintahannya antara tahun 919 – 921 M. Wawa (Rakai Pangkaja
Dyah Wawa, Sri Wijayalokanamottungga) memerintah pada tahun 927 – 928 M.
Pada pemerintahannya, prasasti-prasasti menunjukkan bahwa pusat administratif
kerajaan telah pindah ke Timur. Diperkirakan pada tahun 927 Beliau menjadi
agamawan dengan gelar Wagiswara.
Arca Agastya (Abad 9 M) |
Mpu
Sindok menggantikan Dyah Wawa dan menandai perpindahan ibu kota kerajaan secara
definitif ke Timur, yaitu antara gunung Semeru dan Gunung Wilis, perpindahan
ini kemungkinan karena adanya bencana di Tengah Pulau, namun ada juga dugaan
bahwa Wangsa Sailendra menyerang kembali dari Sumatera atau sekurang-kurangnya
ada keinginan Raja Jawa untuk menjauh dari saingan-saingan yang berbahaya yang
selalu siap untuk menuntut kembali daerah asal kekuasaan mereka. Namun satu hal
yang pasti bahwa hubungan batiniah tidak putus dan raja-raja yang memerintah di
Timur tetap memuja dewa-dewa Mataram.
Meskipun
Sindok, boleh jadi merupakan cucu Daksa, sampai awal abad ke 13 ia selalu
dianggap sebagai pendiri kekuasaan Jawa di Timur pulau dengan nama yang dipakai
pada waktu memerintah adalah Sri Isana (Wikramadharmottunggadewa). Hasil
perpindahan itu adalah serangan baru dari Sriwijaya di bagian Barat pulau.
Kerajaan Sumatera itu mentahtakan seorang pangeran di Sunda pada tahun 942 M.
Prasasti keluaran Mpu Sindok yang muncul
antara tahun 929 s.d. 948 M (berjumlah 20 buah prasasti), merupakan sumber paling
berharga untuk kajian organisasi dan lembaga di negeri itu. prasasti-prasasti
itu berasal dari hulu sungai Brantas dan telah mendirikan beberapa bangunan
suci di Belahan, Gunung Gangsir, dan Sangariti, tetapi tidak satupun dapat
dibandingkan dengan candi yang didirikan oleh pendahulunya di dataran rendah
Kedu.
Dibawah
pemerintahannya diperkirakan terjadi penyusunan Ramayana gaya Jawa, dan
meskipun prasasti-prasasti dan bangunannya sifatnya jelas Hindu, namun dibawah
pemerintahannya disusun karya yang berjudul Sang Hyang Kamahayanikan, sebuah
tulisan tentang Buddhisme aliran Tantrisme.
Sindok
kemudian digantikan oleh Putrinya yang bernama Isanatungawijaya yang
bersuamikan seseorang yang bernama Lokapala. Mereka memiliki putra yang bernama
Makutawamsawardhana yang kemudian menggantikannya atas tahta kerajaan.
Isanatungawijaya juga memiliki seorang putri yang bernama Mahendradatta yang
akan menikah dengan pangeran dari Bali.
Dari sejarah, kita belajar masa lalu, merencanakan masa depan, pijakkan tindakan saat ini. Semoga Damai Selalu didalam LindunganNya.
Sumber: buku karya George Coedes “Asia Tenggara Masa Hindu Budha”
Artikel ini merupakan kelanjutan dari Artikel " Wangsa Sailendra di Jawa dan di Sumatera dari
Tahun 813 sampai Tahun 863 M"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar