Senin, 08 Oktober 2012

Kerajaan Mataram di Jawa (Abad ke 9 s.d. 10)


Kekuasaan Wangsa Sailendra kemudian digantikan oleh Wangsa Sanjaya. Namun demikian Budhisme dan Hinduisme tetap menjalin toleransi timbal balik. Pada abad ini pulalah didirikan candi Prambanan yang merupakan warisan budaya dunia. Bagaimanakah George Coedes menceritakan peristiwa tersebut? Mari kita simak bersama. Semoga bermanfaat.

Arca Siwa Jawa Tengah abad 9
Kemerosotan kekuasaan Wangsa Sailendra di di bagian tengah Jawa (seperti yang diceritakan pada artikel Sebelumnya), terbukti kebenarannya dari adanya sebuah prasasti beraliran Siva dari tahun 863 M di dekat Kompleks Prambanan yang barangkali berhubungan dengan kultus Agastya. Dibangunnya monumen-monumen Hindu di Kompleks Prambanan pada awal abad ke-10 menguatkan sumber ini. Akan tetapi janganlah lalu disimpulkan bahwa Buddhisme sama sekali hilang dari daerah itu, monumen-monumen Buddhism di Borobudur, Plaosan dan Sojiwan membuktikan kebalikannya, dan banyaklah petunjuk menunjukkan bahwa adanya toleransi yang timbal balik antara Buddhisme dan Hinduisme, dan dalam hal-hal tertentu, sinkretismenya sama kuatnya di Jawa seperti di Kamboja.

Para pangeran-pangeran meninggalkan prasasti-prasasti di dataran daerah Kedu di sekitar prambanan, mereka diantaranya adalah Lokapala (856 – 860 M) , Rakai Wangi (863 – 882 M), Rakai Gurunwangi (887 M), Rakai Limus Dyah Dewendra (890 M), Rakai Watuhumalang (896 M). Pusat kerajaan mataram (kerajaan Sanjaya) diperkirakan di Daerah Yogyakarta sekarang.

Jika kita ingat dengan Dyah Balitung (yang sudah disebutkan pada artikel sebelumnya), kita akan meninggalkan suatu masa yang pada hakekatnya tidak jelas untuk memasuki suatu periode yang lebih jelas sejarahnya. Ada beberapa petunjuk sangkaan bahwa Balitung berasal dari bagian timur pulau dan karena perkawinannya kemudian memperoleh hak atas bagian tengah pulau Jawa. Dalam prasasti-prasasti pemerintahannyalah yang muncul antara tahun 899 sampai 910 M yang menyebutkan nama Mataram pertama kali.

Balitung diganti oleh Raja Daksa yang tampil dalam prasastinya disebut sebagai seorang pembesar tertinggi (Rakryan ri Hino, Mahapatih I Hino). Seperti Balitung, Daksa juga menyatukan Jawa bagian Tengah dengan Jawa bagian Timur dan tinggal di daerah Yogyakarta. Mungkin dialah yang menyuruh untuk membangun Candi Lorojongrang di Prambanan.

Tulodong diketahui masa pemerintahannya antara tahun 919 – 921 M. Wawa (Rakai Pangkaja Dyah Wawa, Sri Wijayalokanamottungga) memerintah pada tahun 927 – 928 M. Pada pemerintahannya, prasasti-prasasti menunjukkan bahwa pusat administratif kerajaan telah pindah ke Timur. Diperkirakan pada tahun 927 Beliau menjadi agamawan dengan gelar Wagiswara.

Arca Agastya (Abad 9 M)
Mpu Sindok menggantikan Dyah Wawa dan menandai perpindahan ibu kota kerajaan secara definitif ke Timur, yaitu antara gunung Semeru dan Gunung Wilis, perpindahan ini kemungkinan karena adanya bencana di Tengah Pulau, namun ada juga dugaan bahwa Wangsa Sailendra menyerang kembali dari Sumatera atau sekurang-kurangnya ada keinginan Raja Jawa untuk menjauh dari saingan-saingan yang berbahaya yang selalu siap untuk menuntut kembali daerah asal kekuasaan mereka. Namun satu hal yang pasti bahwa hubungan batiniah tidak putus dan raja-raja yang memerintah di Timur tetap memuja dewa-dewa Mataram.

Meskipun Sindok, boleh jadi merupakan cucu Daksa, sampai awal abad ke 13 ia selalu dianggap sebagai pendiri kekuasaan Jawa di Timur pulau dengan nama yang dipakai pada waktu memerintah adalah Sri Isana (Wikramadharmottunggadewa). Hasil perpindahan itu adalah serangan baru dari Sriwijaya di bagian Barat pulau. Kerajaan Sumatera itu mentahtakan seorang pangeran di Sunda pada tahun 942 M.

Prasasti keluaran Mpu Sindok yang muncul antara tahun 929 s.d. 948 M (berjumlah 20 buah prasasti), merupakan sumber paling berharga untuk kajian organisasi dan lembaga di negeri itu. prasasti-prasasti itu berasal dari hulu sungai Brantas dan telah mendirikan beberapa bangunan suci di Belahan, Gunung Gangsir, dan Sangariti, tetapi tidak satupun dapat dibandingkan dengan candi yang didirikan oleh pendahulunya di dataran rendah Kedu.

Dibawah pemerintahannya diperkirakan terjadi penyusunan Ramayana gaya Jawa, dan meskipun prasasti-prasasti dan bangunannya sifatnya jelas Hindu, namun dibawah pemerintahannya disusun karya yang berjudul Sang Hyang Kamahayanikan, sebuah tulisan tentang Buddhisme aliran Tantrisme.

Sindok kemudian digantikan oleh Putrinya yang bernama Isanatungawijaya yang bersuamikan seseorang yang bernama Lokapala. Mereka memiliki putra yang bernama Makutawamsawardhana yang kemudian menggantikannya atas tahta kerajaan. Isanatungawijaya juga memiliki seorang putri yang bernama Mahendradatta yang akan menikah dengan pangeran dari Bali.

Dari sejarah, kita belajar masa lalu, merencanakan masa depan, pijakkan tindakan saat ini. Semoga Damai Selalu didalam LindunganNya.

Sumber: buku karya George Coedes “Asia Tenggara Masa Hindu Budha”
Artikel ini merupakan kelanjutan dari Artikel " Wangsa Sailendra di Jawa dan di Sumatera dari Tahun 813 sampai Tahun 863 M"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar